Selasa, 28 Mei 2013





A.      Nama lengkapnya, Muhammad bin Mukram bin Ahmad bin Habqah Al-Anshari Al-Afriqi (630-711 H/ 1232-1311 M). Nasabnya bersambung kepada Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari, dilahirkan pada bulan muharram. Muridnya Ibnu Muqir, murtadha Ibnu Hatim, Abdur Rahim Ibnu Thufail, Yusuf Ibnu almahille dan sebagainya. Beliau wafat tahun 711 H.
Aktifitas Ibnu Mandzur mencatat atau menulis karangan sepanjang hidupnya, jadi qadi dan lebih cendrung berpihak namun tidak hianat, dia alim dalam imu nahu, bahasa, sejarah, menulis, apalagi dalam sastra bagus karyanya.
Yang tidak habis pikir dalam sepanjang hidupnya adalah cita-citanya meringkas kitab-kitab yang panjang yang dikarang sebelumnya. Beliau meringkas kitab Mukhtashar al-Aghami, Mukhtashar Tarikh Baghdad (Al Kitab Al-Baghdady), Muhktashar tarikh Dimasyqu (Ibnu Asakir) Mukhtashar Mufradaa ibnu Baythar, dan mukhtashar Al-Dakhirah. Shufdi mengtakan “aku hampir tidak menemukan kitab-kitab tebal melainkan telah di ringkas oleh ibnu mandzur”. Menurut qutbuddin, putra ibnu mandzur, karya tulis ayahnya tidak kurang dari 500 jilid buku.
Cita-cita itu dengan cara meringkas ketika dia mengarang kamusnya “lisan al-Arab tidak merubah ringkasan kitab dari kitab-kitab kebahasaan, bahkan kamus beliau lebih besar dan luas dari pada setiap kamus-kamus sebeelumnya. Namun kadangkala keanehan itu hilang ketika kita mengetahui cara-cara yang terkumpul dalam bahan kamus ini.
B.       Motif apa yang mendorong beliau mengarang kamusnya??
Ibnu Mandzur berkata dalam muqaddimahnya saya gemar tela’ah buku-buku bahasa, karang-karangan, mengi’lal tasrifnya, saya melihat pakar-pakarnya bahasa antara dua sisi. Dari sisi pengelompokannya baik namun tidak baik dalam penempatannya. Dan begitu juga sebaliknya, baiknya penempatan tidak bermanfaat apabila ada jelek dalam pengumpulannya.
Maksudnya beliau berkehendak mengumpulkan kedua kebaikan diatas dalam kamusnya: antara baiknya pengumpulan dan peletakan. Beliau membuat perumpamaan tahzibul lughah punya imam azhari dan muhkam punya Ibnu Sida’,terhadap buku-buku bahasa yang detail secara sempurna namun aibnya lemah dalam penyusunan campur baur bab. Sisi lain, dia memperbaiki penyusunan dan strukturnya dengan mengumpamakan kepada kitab as-shihah al-jauhari.
Dalam pendahuluan lisan al-arab, terdapat penjelasan bahwa kamus itu bersumber dari lima kamus populer sebelumnya, yaitu: kamus Tahdzib (al-azhari), Muhkam (ibnu sidah), al-shihah (al-jawhari), hawasyi (ibnu bari ) dan nihayah (ibnul atsir). Beliau berkata dalam kitab ini saya mengumpulkan sumber-sumber sesuatu yang terpisah dalam satu pengumpulan. Dan bersamaan dengan itu saya tidak mengaku dengan mengatakan: saya berdialog, mendengar, membuat, menguatkan, memindahkan dari arab kuno,semua  pengakuan tidak ditinggalkan oleh al-Azhari dan Ibnu Sida’.
Apabila kita tahu sekarang terhadap esensi ini maka tidak akan heran ketika menjumpai al-lisan hingga mencapai 20 jilid. Beliau dalam menciptakan dan mengarang sesuatu semata-mata karena khazanah seperti yang ia katakana dalam bahasa dimaafkan dari berbagai tanggung jawab aktifitas dalam kamus ini selain benarnya mindah dari sumber-sumbernya. Dia berkata: barang siapa yang menemukan kesalahan, ataupun kebenaran maka kita kembalikan kepada pengarang pertama, pujian dan celaan, saya memindahkan dari asal muasal isinya tidak mengganti terhadap sesuatu…mendingan saya melaksanakan amanah dalam pemindahan asal muasal dengan nash dan tidak merubah pembicaraan selain yang tertera dalam nash.
Ibnu mandzur adalah seorang pakar dibidang bahasa Arab, sejarah dan fiqih. Kehebatan Ibnu Mandzur tampak pada karya tulisnya bernama kamus Lisan Al-‘Arab, sebuah kamus paling besar dan lengkap di zamannya yang sanggup menampung semua kandungan dari kamus-kamus sebelumnya seperti: kamus Al-Muhkam, Al-Shihah, tahdzib al-lughah, al-jamarah, al-nihayah, hasyisah al-shihah. Para ulama mengakui, bahwa membaca kamus karya ibnu mandzur ini, laksana telah membaca kamus-kamus pendahulunya. Tak berlebihan, jika kamus lisan al-‘arab, tergolong kamus paling lengkap, sebab ia memuat lebih dari 80.000 kata. Itu itupun belum termasuk kata-kata derivasinya. Sayangnya, menurut Abed Al-Jabiri, kamus Lisan Al-Arab yang terdiri dari banyak volume ini, tidak memuat nama-nama segala sesuatu yang berhubungan dengan alam atau industry, juga konsep-konsep teoritis dan berbagai istilah yang telah dikenal pada saat itu, abad 7 dan 8 H. dan yang ada di Kairo salah satu pusat peradaban utama dalam sejarah islam.
Kamus Lisan Al-A’rab juga sering dijadikan obyek penelitian oleh para ulama bahasa, hingga muncul beberapa karya ilmiyah seperti Tashih Al-lughah, karya ahmads taymur basya, tahdzib al-lisan karya Abdullah ismail al-shawi, amtsilah min al-aghladz al-waqi’ah fii lisan al-‘arab karya taufiq daud qurban dan tashihaat lisan al-‘arab karya abdul sattar ahmad faraj.
Karya-karya ibnu mandzur lainnya, mayoritas berupa  buku ringkasan (mukhtashar) darri kitab popular sebelumnya, sehingga ia di kenal sebagai pennulis yang sanggup meringkas dari isi buku-buku besar di sungguhkannya dengan bahasa yang ringkas sehingga muda di pahami  o,eh generasi selanjutnya, Ashafadi berkata,
Kamus lisan al-arab di susun oleh Muhammad bin mukarram bin ali bin madzur  al-Ifriki yang lebih di kenal dengan ibnu mandzur(1232-1311 M). dalam kamusnya ini, ibnu mandzur mencoba mengkodifikasi semua kosa kata bahasa arab yang ia gali dari kamus sebelumnya maupun ia cari sendiri, sehingga lisan al-arab menjadi kamus paling tebal yang berisi 80000 kata dan sejumlah derifasi kata.
Sistem penyusunan kosa kata dalam lisan al-arab sama persis dengan assihah (al-jauhari) yang terdiri dari beberapa kitab (nama huruf akhir) dan tiap kitab terdiri dari pasal-pasal (nama huruf awal). Perbedaan antara lisan al arab dan assihah, terletak pada masalah pengambilan riwayat. Jika al-jauhari (al-sihhah) hanya memuat riwayat makna dari syair, qasidah, atau lainnya yang memiliki nilai sahih (falid), tetapi ibnu mandur (lisan al-arab) tidak hanya m embatasi pada riwayat yanh sahih. Ia mengambil semua makna, walaupun berasal dari syahid (dalil) yang tadak sahih, karena sebuah qamus bahasa saharusnya mampu merekam (baca: kodifikasi) semua kosa kata bahasa arab.
C.       Ibnu Mandzur memilih urutan materi kamusnya seperti yang dilakukan Jauhari sebelumnya dalam kamus shihhahnya, artinya urutan bab dan fashalnya. Jadi tidak perlu mengulang. Dalam penyusunan ini Ibnu Mandzur menyusunnya dengan mengisinya, tidak merubah, menambah atau menguranginya. Didalamnya dibahas tentang huruf yang menyimpulkan bab, dan kamu mencari sesuatu dalam kamus ini dari halaman pertama sehingga jelaslah bab yang pertama, bab alif hamzah, dengan mencari sepanjang huruf hamzah. Dalam hal ini memindahdari Imam Abbas, Jauharidan Ahmad bin Yahya.
       Oleh karena itu, Ibnu Mandzur meletakkan dua fasal mukaddimah yang mengiringi permulaannya. Kadang-kadang pertamanya diperoleh dari tafsir makharijul hurufnya, yang ada di permulaan sebagian surah al-Qur’an. Setelah ini dibahas tentang sesuatu yang berhubungan dengan materi kamus itu sendiri.
D.      Dan setelah kamus lisan al-arab itu ada, ensiklopedia yang terkandung didalamnya dari materi bahasa dan sastra. Dengan sesuatu yang berisi dalil-dalil dari sya’ir dan hadits.
       Revisi pertama dilakukan oleh Abdullah Isma’il as-Shawi. Sasarannya adalah menyusun materi lisan berdasarkan urutan hijaiyyah. Dan sebagian kecil dari revisi ini terbit pada tahun 1355 H kemudian berhenti.
       Sedangkan revisi kedua lebih banyak maju, karena penyusunan Muhammad an-Najari terhadap lafadz berdasarkan semua huruf hijaiyyah. Peletakan lafadznya sama saja antara mujarrad atau mazid. Dijudulnya berdasarkan runtutan semua huruf. Dalam hal ini pembahas tidak perlu banyak mengetahui runtutan hurufh ijaiyyah.

2 komentar: